Jumat, 02 Juli 2010

ANUGERAH ANAK #1


Virus perasaan hampa yang pernah dialami seluruh makhluk yang bernama manusia didunia, kini sedang menyerangku dan cukup terasa lama perihnya. Keluhan kesepian dan kecemasan melengkapi gejala penyakit ini. Pada satu titik dalam hidup. Ketika membolak balikkan badan, melihat suasana yang belum juga berubah. Membayangkan, memimpikan tangisan bayi yang pecah membuat terjaga atau membuyarkan hal penting, menjadi tak ada yang lebih penting selain merawat seorang kecil berjulukan si buah hati, yang menyambut hangat tangan lenturku lalu dijamin tertidur pulas dalam dekapan yang aman.
Aku tak tahu apakah do’aku bisa sampai ke surga, jika tak ada anak kandung yang mendo’akanku? Aku menciptakan rasa kesepian bahkan rasa putus asa yang selayaknya tak harus kulatih apalagi kuresapi. Keadaan yang membuatku gelisah. Berulangkali men-sugesti diri bahwa aku orang paling bahagia dan penuh rasa syukur. Terkadang cara itu sedikit membantu.
Awal-awal yang membahagiakan sebagai pengantin baru sampai menuju angka 3 tahun perkawinan kami slalu menghibur diri, “ah ini bukan apa-apa. Nikmati saja sebagai masa ‘berpacaran’.” Tatkala waktu beranjak menuju 5 hentakan masa, lima tahun perkawinan, Penghuni rumah ini belum juga bertambah, aku dan suamiku. Aku mulai harus mengendalikan hidupku dari mengatasi kerinduan kala membangun cita-cita di otakku menjadi seorang ibu yang bersedia menghibur hati yang luka, menghangatkan tubuh yang dingin, menggenggam tangan yang gugup, menatap mata yang menyengat ingin dicintai. Terserah padamu Tuhan.
Sejatinya lelah menanggapi pertanyaan demi pertanyaan orang tentang mencari sebab, mengapa, kenapa, ada apa, belum memiliki anak? Seolah kejadian manusia bukan karena campur tangan Tuhan. Aku selalu siap dengan jawaban sebagai senjata pembungkam serta menampilkan diri sebagai seseorang yang pasrah diri dan sabar. Serta merta menata positif fikiranku bahwa suara-suara itu adalah do’a. Sejujurnya pertanyaan-pertanyaan itu menjadi sangat membosankan, tak ingin kudengar, tak ingin kujawab. Kadang malah aku mulai senang dengan pikiran negative tentang itu, jawabanku mulai tak ramah, pertanyaan yang tadinya aku anggap do’a seketika berubah jika aku mulai berhadapan dengan mimik wajah bertanya tak ada solusi atau melancarkan sugesti demi menambah jaringan sehingga terjual produk obat, menyarankan cara alternatif atau menatap dengan khawatir, curiga, atau lebih tepatnya memandang dengan kasihan.
Aku membenci hadir dalam suatu pertemuan sosial yang anti sosial yang malah membuat hariku sial. Bertemu dengan orang-orang yang ingin tahu. Sebagian malah sudah tahu, meng-konfirmasi jawaban sebagai bahan gosip. Nyanyian yang sama didendangkan ditiap-tiap waktu. Setidaknya itu yang aku fikirkan. Suasana ini memang tak nyaman. Aku berburuk sangka, tapi perasaan inilah kenyataannya.
Kalimat-kalimat pembanding seperti, Si A saja yang baru saja menikah sudah “isi” (cara lain mengatakan sudah hamil) skarang ini.
Si B yang nikahnya sesudah kamu, anaknya sudah 3 blablabla.
Lalu ditambah dengan pertanyaan dan pernyataan pelengkap;
Oh mungkin terlalu lelah? Apa haidnya tidak lancar? Ada kista? Miom? Kanker rahim? Tumor? Panu? Kudis? Kurap?
Suaminya sudah diperiksa juga? Spermanya cair? Ejakulasi dini? Berapa usiamu sekarang, usia suamimu? Tahu usia produktif? Tahu usia teman nenek moyangmu? Mmmm To much..
Oh mungkin stress? My God. Sesungguhnya aku lebih stres mendengar kata-kata itu daripada menjalani hidup dengan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Mereka seperti dokter ahli kandungan yang tepat mendiagnosa, atau ahli jiwa yang mengukur kadar kemampuan psikologis seberapa layak kesiapan menjadi orangtua.
Ugh! Untuk apa nyanyian ini ku dengar? Kenapa pula aku harus lari? Toh, referensiku tentang kehidupan, menjalani hidup sebelum mati atau sesudah mati, anak, mengarahkanku pada banyak pemikiran.
Memiliki anak banyak, bukan suatu prestasi. Jika hanya mengandalkan kuantitas anak.
Memiliki anak juga bukan satu-satunya jaminan surga, jika tidak sanggup menjadikannya anak berkualitas dunia akherat.
Bahkan anak hanya titipan Tuhan yang menjadi perhiasan dunia.
Berapa banyak orang-orang yang ingin menikah tapi tak juga mendapatkan pasangannya?
Berapa banyak yang urung menikah karena tak ingin memilik anak?
Berapa banyak pasangan yang ingin berpisah meskipun mereka sudah dikaruniai banyak anak?
Berapa banyak yang tak ingin melahirkan anak yang kehadirannya tak diharapkan karena menutup aib?
Berapa banyak yang menelantarkan anak yang akhirnya tumbuh sama liarnya dan dalam beberapa hal sama ditelantarkannya?
Atau, bagaimana mungkin orang bisa menyimpulkan hidup tanpa dikaruniai anak adalah satu-satunya cara untuk mengantarkan suatu hubungan pernikahan ke gerbang kehancuran, apakah hanya itu satu-satunya penyebab? Padahal beberapa faktor luar ikut ambil bagian.
Lebih baik aku mengitari diri dengan lingkungan yang mendukung. Memasuki rute teknologi, mencari orang-orang pengertian dan baik hati di ruang chat online. Lalu membuang kesulitan-kesulitan emosional sepanjang hidup. Tampaknya ini suatu pemikiran yang menyempitkan rasa cemas dan rasa tak berguna jika dipilih Tuhan sebagai orang yang tidak dikaruniai anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar