Minggu, 04 Juli 2010

CANTIK #3

Seorang yang cantik merasa berwenang untuk bertingkahlaku apapun yang menurutnya pantas. Sedang yang tidak cantik dianggap harus lebih tahu diri. “Uh kayak yang cantik aja…”, atau “dia bertingkah seperti itu, mending kalau cantik….” kira-kira seperti itu ketika seseorang melihat yang kurang cantik bertingkah laku berlebihan. Begitu anggapan seorang teman memandang arti sebuah kecantikan bagi wanita.
Pria mengagumi wanita cantik tentu saja dianggap normal, meskipun pandangan mereka mungkin saja berbeda antara satu dengan yang lainnya. Mengungkap kata cantik bagi perempuan kepada seseorang perempuan lain juga hal biasa jika baginya hanya sebagai bentuk kekaguman atau paling tidak untuk mendapatkan feedback yang sama. Bukan jadi masalah jika itu merupakan penghargaan suatu bentuk keindahan. Selalu bermakna baik pada suatu niat kebaikan.
Namun tidak menjadi baik jika bentuk pujian kekaguman seseorang ditanggapi berlebihan, oleh sebagian orang yang merasa cantik sebagai tujuan untuk dipuji. Hal ini bisa menjadi suatu cara baginya untuk berwenang melecehkan orang lain yang mengagumi dan mengakui kecantikannya.

Desy seorang yang sangat cantik, berteman dengan Tanti yang kurang cantik.
“Desy, kamu tuh cantik, pakai baju apa saja selalu pantas buatmu dan laki-laki hanya berfokus padamu yang memang sudah cantik.” Ucap Tanti dengan tulus memuji sahabatnya Desy.
Lalu pandangan Desy mengarah ke diri Tanti, matanya memperhatikan kebawah keatas dan berujar,
“Ya tentu saja, aku juga selalu merawat diri tidak seperti kamu yang kucel, awut-awutan begitu, hitam, gendut.”
Dan lagi yang membuat hati Tanti menciut, ujung dari kalimat Desy,
“……..laki-laki mana yang mau mendekat?!”
Entah apa yang ada dibenak Desy. Positif atau negatif kalimat itu akan bisa diterima Tanti? Atau perlu tidaknya kalimat itu diucapkan? Atau sebuah kritikan sebagai alasan motivasi? Atau sejelas-jelasnya sebuah penghinaan? Sulit mencari alasan bijak dari kalimat Desy, kepantasan dirinya yang merasa cantik sudah melukai sahabatnya.
Bagi Desy dia layak dipuji, dia merasa tak perlu mengucapkan terimakasih. Seandainya itu pun dilakukan, tak lebih dari sekedar kesadaran terhadap eksistensi diri sebagai seseorang yang pantas diberi pujian. Kenyataan bahwa Desy sedang menghunuskan pedang yang menusuk hati Tanti, melumpuhkan rasa percaya dirinya jika disisi Desy, karena selamanya dia hanya akan terlihat sebagai seorang pecundang, penjaga sang putri cantik jelita.
Desy terlalu yakin cap cantik melekat abadi pada dirinya yang menampilkan sesuatu dari sisi kepribadian yang buruk dari permukaan kulit mulus dan bentuk fisiknya itu. Dan itu jelas terlihat dari caranya bertutur yang bahkan tidak dengan berfikir.
Kejujuran yang pahit diungkap Desy dengan mengabaikan perasaan Tanti, mengabaikan bentuk penghargaan diri dan penghargaan orang lain terhadap dirinya. Menunjukkan bahwa sebenarnya Desy merasa tidak ‘percaya diri’, karena untuk menjadi cantik dia masih membutuhkan pengakuan meski lawannya tidak sebanding dengannya, sehingga ia memerlukan orang lain untuk meyakinkan dan mengakui dengan penuh penekanan yang benar-benar ingin ia dengar bahwa dirinya memang cantik.
Jika orang yang percaya dirinya cantik, tentu tak perlu lagi membutuhkan pengakuan itu. Dia akan bersikap wajar, rendah hati, menyadari istilah “diatas langit ada langit”. Jika ia cantik tentu ada yang lebih cantik. Tentu tak perlu berbangga hati karena itu akan terlihat dari cara dan tingkah laku yang justru membuat orang merasa ia tak pantas dipuji.
Sesungguhnya disadari atau tidak, tuntutan orang terhadap wanita berparas cantik adalah identik dengan kecantikan sikap, kepribadian diri, bertingkah laku baik dan pintar, karena si cantik yang bodoh akan menghilangkan kualitasnya. Jika tidak memenuhi tuntutan tersebut, orang akan sikap apriopri terhadap dirinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar