Jumat, 02 Juli 2010

ANUGERAH ANAK #2


Ketika suatu waktu aku dihadapkan dengan naluri keibuanku. Pasangan suami istri yang dikaruniai 3 anak mempercayakan anak keduanya yang masih balita untuk kuasuh dan tinggal bersamaku. Aku telah mendapatkan cahaya kepercayaan dari sang ibu yang ikhlas, Kilau mata anak perempuan cantik yang percaya akan dicintai. Kepercayaan Tuhan memberi amanat.
Aku membulatkan keberanian. Niat untuk bersungguh-sungguh. Aku sedia menerima. Walaupun sempat terlintas kekhawatiran. Bagaimana jika aku mendapati bahwa ia payah, sulit, melelahkan, membenciku? Oh Tidak! Ini mudah, ini anugerah!
Aku grogi ketika seorang guru anak asuhku ini mengatakan, “Aisyah, sudah ditunggu mama sambil menunjuk kearahku yang duduk dipojok luar ruang jemput sekolah taman kanak-kanak. Seperti ia yang menemukan cara untuk memanggilku tanpa ragu “mamaaaa”, dia berlari memelukku, sedikit kaku namun ia menyadari aku mulai menyerahkan diriku untuk menyayanginya. Aku membuat sikap wajar tanpa penolakan, ini kesepakatan antara aku dan diriku untuk membagikan kecintaan besarku dan menjadikan diriku bagian dari hidupnya sejak kini. Aku menghela nafas dengan rasa puas.
Kami menghabiskan beberapa sore dan malam hari, ia mulai menularkan hobbinya padaku untuk menyanyi, mewarnai dan bercerita tentang sekolah, teman, kehidupan, Tuhan, flora dan fauna. Menikmati sensasi matahari terbenam dan sekuat tenaga belajar memahami kata-katanya yang tak rapi.
Suatu hari waktu aku menjemputnya disekolah. Dengan piala yang tingginya sedikit lebih rendah darinya ia menunjukkannya padaku, aku terkejut. “Apa ini sayang?” Mataku nanar melihat tulisan tertera dipiala, Pemenang Harapan lomba mewarnai tingkat taman kanak-kanak se-Indonesia. Lalu gurunya memberikan selebaran besar berbahan kertas koran yang menyantumkan deretan nama-nama sekolah peserta dan nama-nama pemenang se-Indonesia. Ada namanya tertera sebagai penerima hadiah dan piala. Tanpa cemburu dengan beberapa peringkat prestasi anak lainnya. Bagiku, ini saja sudah membuatku terkesima. Belum sempat menguasai rasa terkejutku, ibu guru menyerahkan amplop yang berisi beberapa lembar uang sebagai penghargaan, berikut kotak besar berbungkus kertas kado, dan bibirku ingin selalu mengulangi ucapan rasa syukur.
Dihari lain. Ia meronce manik-manik untuk dibuat kalung, gelang dan cincin untuk seukuran sebayanya yang lalu ia jual disekolah dan membagi hasilnya untuk modal dan keuntungan sebagai tabungan dan uang jajan. Its Amazing! Kehadirannya saja sudah menyumbangkan banyak makna. Prestasi ini melebihkanku dengan rasa bangga juga haru.
Hari-hari berwarna, aku telah menemukan style dalam mendidik, lebih banyak mengabaikan mitos bahkan tak terlalu patuh dengan teori-teori cara mendidik anak. Membuat keleluasaan yang longgar dalam berekspresi. Membuat batasan-batasan mengekang dalam hal-hal yang prinsip. Tapi inilah bagiku pelajaran, mengatasi kultur, gaya, cara tiap anak yang berbeda. Tidak ada justifikasi bahwa pola mendidik seperti ini itulah yang paling benar. Setidaknya ini adalah pandanganku yang berbeda dengan aku yang sebelumnya menjadi “Ibu”.
Ketika merindukan ibu, aku mulai berkata-kata sendiri.. Ibu, kini kita sama. Aku bisa merasakan rasa banggamu ketika aku menari dan menerima hadiah juara satu. Ibu, kini kita sama. Aku bisa merasakan gundahmu ketika aku diserang nyamuk malaria. Ibu, aku bisa rasakan panik dan marahmu ketika aku memutar sepeda bermain ditempat yang jauh, pulang ketika senja. Aku juga merasakan gelisah jika ia terlambat kembali dari sekolah, kemana ia bermain, apakah ia aman? Seringkali bayangan kekhawatiran memicu rasa takutku. Namun pilihanku melantunkan do’a dan mengendalikan diri dengan mengatakan “Oke, kamu baik-baik saja, dan ini tidak seperti yang aku bayangkan.”
Kehidupan tidak lagi sedemikian sunyi. Rentetan tuntutan. Negosiasi, dan isi rumah yang semakin kacau tata letaknya. Itulah aku dan si “comel “ satu penghuni rumah yang baru. Sepanjang aku memiliki tangan kecil menggenggam tanganku, melampiaskan tawa renyah yang menggema di sudut rumah. Memiliki profesi yang berubah-ubah selain menjadi anak. Sang pengkritisi cilik yang jujur, konsultan fashion, dokter, perawat, tukang salon, pedagang, pemilik rumah makan. Dirumahku bisa disulap jadi apa saja sesuai imajinasinya. Aku pun rela menjadi pelakon sinetron yang disutradarainya. Praktek, cara dan kata-kata yang baru ia temukan. Selalu berhasil menyimpulkan senyumku atau berlalu diam-diam memendam geli karena tertawa.
Dia, yang mengantarkanku dalam do’a, yang akhirnya kupahami. Do’a khusus untuk orangtua. Bukan semata hanya untuk orangtua biologis yang mengandung dan melahirkan saja. Tapi juga untuk orangtua yang mengasuh dan mendidik sejak ia masih kecil. Inilah sejatinya syukur. Aku semakin tidak cemas.
Bismilahirahmannirahiim.
Rabbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa
Ya Tuhanku, ampunilah dosaku dan dosa ayah dan ibuku serta kasihilah mereka sebagaimana kasih mereka padaku sewaktu aku masih kecil.
Demikian pula aku yang mengiringinya dalam do’a. Memupuknya dengan rasa bangga bahwa dialah anak paling beruntung didunia yang mempunyai dua ibu dan dua ayah yang senantiasa mendo’akannya. Ini mudah, ini anugerah, Ini rahmat Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar